syariah atau perbankan Islam (Arab: المصرفية
الإسلامية
al-Mashrafiyah al-Islamiyah)
adalah suatu sistem perbankan
yang Perbankan pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah).
Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam
untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga
pinjaman (riba), serta
larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram). Sistem perbankan
konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam
investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau
minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.
Perbankan
Syariah di Indonesia - Industri perbankan di Indonesia segera memasuki fase
baru dalam perkembangannya. Tiga belas tahun merupakan sebuah angka yang cukup
matang untuk melihat dan melakukan evaluasi terhadap keberadaan dan kinerja
perbankan syariah selama ini. Menurut data Bank Indonesia 2005, saat ini telah
berdiri tiga bank umum syariah (BUS), 17 unit usaha syariah (UUS), dan 90 bank
perkreditan rakyat syariah (BPRS). Perbankan syariah telah menjadi potensi
tersendiri di masa datang, walau asetnya masih sekitar 1,35 persen dari total
aset perbankan nasional. Tentu banyak hal yang harus dibenahi untuk menguatkan
posisi perbankan syariah secara nasional, seiring pelaksanaan Arsitektur
Perbankan Indonesia (API). Peran dan fungsi perbankan syariah harus lebih
strategis terhadap perbankan nasional dan perekonomian bangsa ke depan.
Catatan
Ada beberapa catatan kritis untuk pembenahan, sehingga perbankan syariah bisa tumbuh dan berkembang dalam menghadapi persaingan global. Dan yang pasti, terpenuhinya kepatuhan terhadap pelaksanaan nilai-nilai syariah dalam sistem operasional perbankan syariah.
Pertama, belum adanya Undang-undang (UU) Perbankan Syariah (legal formal), adalah titik kritis pertama yang paling mendesak dalam perkembangan industri perbankan syariah sejak berdirinya Bank Muammalat pada 1992. Melihat perkembangan dan antusiasme masyarakat dalam menyambut keberadaan perbankan syariah, rasanya payung hukum itu sudah sangat mendesak.Banyak hal yang bisa terselesaikan dengan adanya UU Perbankan Syariah. Misalnya perizinan, pengembangan, posisi perbankan syariah dalam arsitektur perbankan nasional, persoalan merger, fungsi pengawasan, dan lain-lain. Sekarang, tanggung jawab ini ada ditangan para anggota legislatif (terutama fraksi berbasis Islam) untuk memperjuangkan agarRUUPerbankanSyariahsegeradisahkan.
Kedua, masalah ekuitas pembiayaan (equity financing). Sampai saat ini, persoalan tersebut --dalam hal skim mudharabah dan musyarakah-- masih terus dihadapi oleh perbankan syariah. Besarnya angka skim murabahah (debt financing) di mana data BI terakhir menyebutkan mencapai angka 63,16 persen (posisi Agustus 2005, BI), membuat peran dan fungsi perbankansyariahbelumbegitudirasakan masyarakat.
Perbankan syariah perlu mencari terobosan terbaru untuk mengembangkan equity financing, terutama skim mudharabah dan musyarakah, di mana angka BI terakhir menyebutkan berada pada kisaran sekitar 31,86 persen. Di samping itu, penyaluran dana ke sektor riil belum optimal. Hal ini tecermin dari besarnya dana perbankan syariah di BI yang mencapai Rp 1,3 triliun, atau 28 persen dari total dana pihak ketiga (DPK).
Dengan demikian, ke depan diharapkan peran dan fungsi perbankan syariah menggerakkan sektor riil untuk membangun basis sosial ekonomi masyarakat. Dan sudah seharusnya BI melahirkan sebuah standardisasi dalam bentuk benchmark mengenai indikator-indikator pencapaian yang ideal dari perbankan syariah untuk menuju perbankan syariah yang berbasis equity financing (sektor riil).
Ketiga, masalah duplikasi produk. Munculnya persoalan itu ke permukaan karena paradigma pengembangan perbankan syariah di Indonesia selama ini masih terjebak pakem perbankan konvensional. Selama ini, model yang berkembang dalam perbankan konvensional adalah tidak adanya hubungan (relationship) yang kuat antara debitor dan kreditor. Pola yang terbangun hanya hak dan kewajiban tanpa ada komunikasi intens kedua belah pihak. Tanpa disadari, pola ini juga terjadi dalam setiap transaksi pembiayaan perbankan syariah (synthetic loan).
Perbankan syariah harus mampu mengubah paradigma yang selama ini digunakan perbankan konvensional menjadi pola kemitraan (partnership) yang lebih komunikatif dan memberikan pelayanan yang lebih optimal (full advise). Pemilik modal (rabbul maal) --dalam hal ini pihak bank atau nasabah lainnya-- lebih proaktif mengawasi dan memberikan saran kepada pihak yang menjalankan usaha (mudharib)
Keempat, tidak terpenuhinya kondisi dan persyaratan dari skim murabahah. Besarnya skim pembiayaan murabahah telah memberi kesan perbankan syariah tidak terlalu mengambil risiko dalam menjalankan usahanya. Dalam kaidah fikih, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memberikan pembiayaan dalam bentuk murabahah. Di antaranya objek barang yang akan di jual harus ada pada waktu transaksi, barang yang akan dijual harus sudah dimiliki oleh si penjual, dan objek atau barang yang dijual tersebut harus ada secara fisik pada saat di jual.
Di satu sisi bisa dipahami, sebagai industri yang masih baru berkembang, perbankan syariah tentu cenderung bertahan sebagai pemain yang aman (safety player). Karena revenue atau profit yang akan dihasilkan dari skim pembiayaan murabahah ini lebih pasti, dengan risiko minim. Tapi kenyataanya, sering terjadi di lapangan perbankan syariah hanya mengambil sisi profit oriented saja, tanpa memperhatikan kaidah fikih dari syarat-syarat berlakunya skim murabahah.
Kelima, tidak adanya perbedaan secara ekonomi antara skim murabahah dan bunga pinjaman. Tidak bisa dipungkiri sistem penghitungan antara skim murabahan dengan bunga pinjaman (interest loan) tidak terlalu jauh berbeda, bahkan bisa dikatakan sama.
Secara konvensional penghitungan interest loan merujuk kepada persamaan: D = L (I+rt), di mana D = Debt (hutang), L = Loan (pinjaman), rt = rate of interest period (periode tingkat suku bunga). Sementara itu, skim murabahah menggunakan model penghitungan, Pm = Pc (I+rt), di mana Pm = Price of murabahah (harga dari murabahah), Pc = Price of cost, dan rt = rate of revenue period.
Dilihat dari metode penghitungannya, yang menjadi titik kritis perbedaan keduanya adalah cara pandang terhadap rt. Bagi konvensional, rt didefinisikan sebagai tingkat bunga yang sudah ditetapkan oleh pihak bank diawal, untuk mendapatkan keuntungan dari selisih harga pokok dengan pembayaran cicilan (instalment), dan juga disebabkan karena berlakunya teori time value of money. Sementara bank syariah mendefinisikan rt sebagai fee yang diperoleh oleh pihak bank atas jasa yang sudah diberikan. Tapi kadang pemenuhan akan diakuinya transaksi murabahah dalam ushul fikihnya sering tidak diperhatikan.
Keenam, Arbitrase Muamalah. Belum disahkannya UU Perbankan Syariah akan membuat instrumen-instrumen pendukung perbankan syariah belum bisa dijalankan karena akan terkendala dengan payung hukum. Salah satu yang paling mendesak adalah keberadaan lembaga yang akan memfasilitasi setiap masalah yang timbul dalam setiap sengketa yang ada. Diharapkan nantinya UU perbankan syariah bisa memfasilitasi pembentukan instrumen khusus ini. Karena semakin pesat perkembangan perbankan syariah, akan semakin banyak persoalan dan masalah menyangkut hubungan antarinstitusi dan individu.
Kepatuhan syariah
Walau aset perbankan syariah baru 1,3 persen dari total aset perbankan nasional, tapi trennya menunjukkan peningkatan. Diharapkan di masa depan perbankan syariah mampu memberikan benefit yang besar bagi perkembangan ekonomi nasional, khususnya pelaku-pelaku ekonomi kecil dan menengah (UKM). Semuanya hanya bisa dicapai ketika perbankan syariah menjadikan equity financing (mudharabah dan musyarakah ) sebagai ujung tombaknya.
Industri keuangan Islam, khusunya perbankan syariah, harus mampu memberikan benefit yang besar buat pembangunan sosio-ekonomi masyarakat, sehingga kesan bank syariah yang eksklusif bisa hilang. Dengan melihat persentase jenis usaha yang berkembang saat ini, di mana lebih dari 80 persen berada pada sektor UKM, perbankan syariah berpeluang menjadi pemain utama (leading sector) dalam pembiayaan skim-skim yang berpihak kepada masyarakat UKM.
Selama ini, yang baru diuntungkan adalah pihak yang terlibat langsung: (tripartite structure) yaitu pemilik modal (stakeholder), manajemen (bank), nasabah (client). Ke depan, tentu aspek sosio ekonomi yang harus lebih diperhatikan, sehingga keberadaan perbankan syariah mampu berperan signifikan terhadap perekonomian nasional.
Yang juga menjadi perhatian utama dalam menghadapi tantangan ke depan adalah kepatuhan terhadap syariah. Aspek yang paling membedakan sistem konvensional dan syariah adalah pemenuhan kepatuhan terhadap nilai-nilai syariah (shariah compliance). Aspek inilah yang menjadikan perbankan syariah memiliki kelebihan dari operasional perbankan konvensional, sebab menjamin penerapan nilai-nilai keadilan bagi pelaku-pelaku ekonomi, dan tentu saja terpenuhinya nilai-nilai syariah yang lebih utuh.
Tantangan inilah yang seharusnya bisa dijawab oleh semua instrumen dalam operasional sebuah perbankan, terutama pihak regulator (BI), kontroler (syariah advisor) yang ada di Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS); dan manajemen operasional perbankan sendiri. Sinergi semua instrumen tersebut akan menghasilkan sebuah sistem yang memberikan nilai terhadap sistim perbankan nasional, bahkan ekonomi nasional di kemudian hari. Dan pada saatnya akan berdampak kepada terwujudnya keadilan ekonomi dan masyarakat yang sejahtera.
Handi Risza Idris, Dosen Syariah Economic Banking Institute (SEBI), Peneliti Islamic Economic Forum for Indonesian Development (ISEFID)
Ada beberapa catatan kritis untuk pembenahan, sehingga perbankan syariah bisa tumbuh dan berkembang dalam menghadapi persaingan global. Dan yang pasti, terpenuhinya kepatuhan terhadap pelaksanaan nilai-nilai syariah dalam sistem operasional perbankan syariah.
Pertama, belum adanya Undang-undang (UU) Perbankan Syariah (legal formal), adalah titik kritis pertama yang paling mendesak dalam perkembangan industri perbankan syariah sejak berdirinya Bank Muammalat pada 1992. Melihat perkembangan dan antusiasme masyarakat dalam menyambut keberadaan perbankan syariah, rasanya payung hukum itu sudah sangat mendesak.Banyak hal yang bisa terselesaikan dengan adanya UU Perbankan Syariah. Misalnya perizinan, pengembangan, posisi perbankan syariah dalam arsitektur perbankan nasional, persoalan merger, fungsi pengawasan, dan lain-lain. Sekarang, tanggung jawab ini ada ditangan para anggota legislatif (terutama fraksi berbasis Islam) untuk memperjuangkan agarRUUPerbankanSyariahsegeradisahkan.
Kedua, masalah ekuitas pembiayaan (equity financing). Sampai saat ini, persoalan tersebut --dalam hal skim mudharabah dan musyarakah-- masih terus dihadapi oleh perbankan syariah. Besarnya angka skim murabahah (debt financing) di mana data BI terakhir menyebutkan mencapai angka 63,16 persen (posisi Agustus 2005, BI), membuat peran dan fungsi perbankansyariahbelumbegitudirasakan masyarakat.
Perbankan syariah perlu mencari terobosan terbaru untuk mengembangkan equity financing, terutama skim mudharabah dan musyarakah, di mana angka BI terakhir menyebutkan berada pada kisaran sekitar 31,86 persen. Di samping itu, penyaluran dana ke sektor riil belum optimal. Hal ini tecermin dari besarnya dana perbankan syariah di BI yang mencapai Rp 1,3 triliun, atau 28 persen dari total dana pihak ketiga (DPK).
Dengan demikian, ke depan diharapkan peran dan fungsi perbankan syariah menggerakkan sektor riil untuk membangun basis sosial ekonomi masyarakat. Dan sudah seharusnya BI melahirkan sebuah standardisasi dalam bentuk benchmark mengenai indikator-indikator pencapaian yang ideal dari perbankan syariah untuk menuju perbankan syariah yang berbasis equity financing (sektor riil).
Ketiga, masalah duplikasi produk. Munculnya persoalan itu ke permukaan karena paradigma pengembangan perbankan syariah di Indonesia selama ini masih terjebak pakem perbankan konvensional. Selama ini, model yang berkembang dalam perbankan konvensional adalah tidak adanya hubungan (relationship) yang kuat antara debitor dan kreditor. Pola yang terbangun hanya hak dan kewajiban tanpa ada komunikasi intens kedua belah pihak. Tanpa disadari, pola ini juga terjadi dalam setiap transaksi pembiayaan perbankan syariah (synthetic loan).
Perbankan syariah harus mampu mengubah paradigma yang selama ini digunakan perbankan konvensional menjadi pola kemitraan (partnership) yang lebih komunikatif dan memberikan pelayanan yang lebih optimal (full advise). Pemilik modal (rabbul maal) --dalam hal ini pihak bank atau nasabah lainnya-- lebih proaktif mengawasi dan memberikan saran kepada pihak yang menjalankan usaha (mudharib)
Keempat, tidak terpenuhinya kondisi dan persyaratan dari skim murabahah. Besarnya skim pembiayaan murabahah telah memberi kesan perbankan syariah tidak terlalu mengambil risiko dalam menjalankan usahanya. Dalam kaidah fikih, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memberikan pembiayaan dalam bentuk murabahah. Di antaranya objek barang yang akan di jual harus ada pada waktu transaksi, barang yang akan dijual harus sudah dimiliki oleh si penjual, dan objek atau barang yang dijual tersebut harus ada secara fisik pada saat di jual.
Di satu sisi bisa dipahami, sebagai industri yang masih baru berkembang, perbankan syariah tentu cenderung bertahan sebagai pemain yang aman (safety player). Karena revenue atau profit yang akan dihasilkan dari skim pembiayaan murabahah ini lebih pasti, dengan risiko minim. Tapi kenyataanya, sering terjadi di lapangan perbankan syariah hanya mengambil sisi profit oriented saja, tanpa memperhatikan kaidah fikih dari syarat-syarat berlakunya skim murabahah.
Kelima, tidak adanya perbedaan secara ekonomi antara skim murabahah dan bunga pinjaman. Tidak bisa dipungkiri sistem penghitungan antara skim murabahan dengan bunga pinjaman (interest loan) tidak terlalu jauh berbeda, bahkan bisa dikatakan sama.
Secara konvensional penghitungan interest loan merujuk kepada persamaan: D = L (I+rt), di mana D = Debt (hutang), L = Loan (pinjaman), rt = rate of interest period (periode tingkat suku bunga). Sementara itu, skim murabahah menggunakan model penghitungan, Pm = Pc (I+rt), di mana Pm = Price of murabahah (harga dari murabahah), Pc = Price of cost, dan rt = rate of revenue period.
Dilihat dari metode penghitungannya, yang menjadi titik kritis perbedaan keduanya adalah cara pandang terhadap rt. Bagi konvensional, rt didefinisikan sebagai tingkat bunga yang sudah ditetapkan oleh pihak bank diawal, untuk mendapatkan keuntungan dari selisih harga pokok dengan pembayaran cicilan (instalment), dan juga disebabkan karena berlakunya teori time value of money. Sementara bank syariah mendefinisikan rt sebagai fee yang diperoleh oleh pihak bank atas jasa yang sudah diberikan. Tapi kadang pemenuhan akan diakuinya transaksi murabahah dalam ushul fikihnya sering tidak diperhatikan.
Keenam, Arbitrase Muamalah. Belum disahkannya UU Perbankan Syariah akan membuat instrumen-instrumen pendukung perbankan syariah belum bisa dijalankan karena akan terkendala dengan payung hukum. Salah satu yang paling mendesak adalah keberadaan lembaga yang akan memfasilitasi setiap masalah yang timbul dalam setiap sengketa yang ada. Diharapkan nantinya UU perbankan syariah bisa memfasilitasi pembentukan instrumen khusus ini. Karena semakin pesat perkembangan perbankan syariah, akan semakin banyak persoalan dan masalah menyangkut hubungan antarinstitusi dan individu.
Kepatuhan syariah
Walau aset perbankan syariah baru 1,3 persen dari total aset perbankan nasional, tapi trennya menunjukkan peningkatan. Diharapkan di masa depan perbankan syariah mampu memberikan benefit yang besar bagi perkembangan ekonomi nasional, khususnya pelaku-pelaku ekonomi kecil dan menengah (UKM). Semuanya hanya bisa dicapai ketika perbankan syariah menjadikan equity financing (mudharabah dan musyarakah ) sebagai ujung tombaknya.
Industri keuangan Islam, khusunya perbankan syariah, harus mampu memberikan benefit yang besar buat pembangunan sosio-ekonomi masyarakat, sehingga kesan bank syariah yang eksklusif bisa hilang. Dengan melihat persentase jenis usaha yang berkembang saat ini, di mana lebih dari 80 persen berada pada sektor UKM, perbankan syariah berpeluang menjadi pemain utama (leading sector) dalam pembiayaan skim-skim yang berpihak kepada masyarakat UKM.
Selama ini, yang baru diuntungkan adalah pihak yang terlibat langsung: (tripartite structure) yaitu pemilik modal (stakeholder), manajemen (bank), nasabah (client). Ke depan, tentu aspek sosio ekonomi yang harus lebih diperhatikan, sehingga keberadaan perbankan syariah mampu berperan signifikan terhadap perekonomian nasional.
Yang juga menjadi perhatian utama dalam menghadapi tantangan ke depan adalah kepatuhan terhadap syariah. Aspek yang paling membedakan sistem konvensional dan syariah adalah pemenuhan kepatuhan terhadap nilai-nilai syariah (shariah compliance). Aspek inilah yang menjadikan perbankan syariah memiliki kelebihan dari operasional perbankan konvensional, sebab menjamin penerapan nilai-nilai keadilan bagi pelaku-pelaku ekonomi, dan tentu saja terpenuhinya nilai-nilai syariah yang lebih utuh.
Tantangan inilah yang seharusnya bisa dijawab oleh semua instrumen dalam operasional sebuah perbankan, terutama pihak regulator (BI), kontroler (syariah advisor) yang ada di Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS); dan manajemen operasional perbankan sendiri. Sinergi semua instrumen tersebut akan menghasilkan sebuah sistem yang memberikan nilai terhadap sistim perbankan nasional, bahkan ekonomi nasional di kemudian hari. Dan pada saatnya akan berdampak kepada terwujudnya keadilan ekonomi dan masyarakat yang sejahtera.
Handi Risza Idris, Dosen Syariah Economic Banking Institute (SEBI), Peneliti Islamic Economic Forum for Indonesian Development (ISEFID)
Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah - Pertumbuhan pembiayaan yang tinggi di tengah
pasar perbankan syariah yang sedang berkembang di Indonesia merupakan suatu
yang didambakan. Akan tetapi, pertumbuhan pembiayaan yang tinggi bukan
segalanya. Hal yang didambakan adalah pembiayaan dengan portfolio sehat dan
tumbuh sesuai kebutuhan pasar. Oleh karena semangat tinggi dalam pertumbuhan,
seringkali setelah pembiayaan diberikan bukan peningkatan pendapatan yang
diperoleh. Hal yang muncul, justru permasalahan pembiayaan.
Pembiayaan bermasalah pada perbankan syariah mengalami peningkatan cukup berarti dalam dua tahun terakhir. Pada akhir 2005 gross NPF (Non Performance Finance) baru sekitar 2,82%, namun pada akhir 2006 meningkat tajam menjadi 4,75%, dan hingga akhir triwulan III-2007 berada pada posisi 6,63%. Peningkatan pembiayaan bermasalah pada industri perbankan syariah terjadi karena berbagai faktor, baik dari internal bank, internal nasabah, ataupun masalah eksternal.
a. Permasalahan Pembiayaan Bank Syariah
Permasalahan internal dari pihak bank syariah sebagai pemberi pembiayaan, secara umum dapat diidentifikasi sebagai berikut:
- petugas pembiayaan, baik marketing maupun analis kurang memahami seluk beluk sektor usaha pada pembiayaan yang diberikan; - pembidangan pembiayaan belum dilakukan melalui spesialisasi segmen usaha, sehingga analis belum memiliki pendalaman terhadap satu atau beberapa sektor usaha yang dianalisanya;
- pemutus pembiayaan kurang mendapat informasi mengenai usaha dan sektor ekonomi yang dibiayai; - akad pembiayaan memiliki kelemahan, sehingga posisi bank syariah menjadi lemah;
- ketidakdisiplinan dalam melakukan monitoring, baik untuk pemenuhan persyaratan akad pembiayaan maupun perkembangan usaha nasabah; - kurang cepat tanggap dalam menyikapi permasalahan yang dialami oleh nasabah atas usaha yang dibiayai.
Permasalahan internal dari pihak nasabah pembiayaan dapat diidentifikasi sebagai berikut:
- kurang terbukanya atau kurang lengkapnya informasi yang diberikan nasabah pada saat proses pembiayaan;
- pembiayaan yang diberikan digunakan tidak sesuai dengan peruntukkan yang diperjanjikan dalam akad pembiayaan; - terjadi mismanagement pada usaha yang dijalankan nasabah;
- kondisi keuangan nasabah memburuk; - manajemen tidak memiliki kemampuan prima dalam mengelola perusahaan;
- nasabah tidak mempunyai itikad baik dalam menyelesaikan kewajiban; - penerapan good corporate governance pada debitur lemah.
Permasalahan eksternal di luar pihak bank syariah ataupun nasabah yang dapat menimbulkan pembiayaan bermasalah, dapat diidentifikasi sebagai berikut:
- kondisi makro perekonomian kurang kondusif yang dapat mempengaruhi dunia usaha secara menyeluruh;
- regulasi domestik dan internasional yang dapat mempengaruhi usaha-usaha tertentu yang telah berjalan; - fluktuasi suku bunga bank kovensional masih menjadi pertimbangan dan alasan masyarakat dalam transaksi pembiayaan bank syariah;
- kondisi persaingan usaha yang semakin ketat menuntut modifikasi dan diversifikasi usaha secara terus menerus; - munculnya produk subtitusi terhadap sebuah produk pembiayaan yang dikenal selama ini;
- kelangkaan bahan baku yang dapat memperlambat atau menghentikan produksi; - terjadinya musibah bencana alam yang dapat menghambat proses produksi baik parsial maupun secara menyeluruh.
Memperhatikan hal-hal yang telah diidentifikasi di atas, maka semua lini dalam pembiayaan pada sebuah bank syariah harus dapat memahami kondisi-kondisi yang terjadi sehingga dapat meminimalisasi pembiayaan bermasalah baik saat pemberian maupun pada masa yang akan datang. Di samping masalah teknis pemberian pembiayaan, para personal yang terkait dengan pembiayaan harus memahami kondisi perekonomian pada saat pembiayaan diberikan serta prediksi ke masa depan.
b. Proyeksi Pembiayaan Perbankan Nasional
Berdasarkan survei Bank Indonesia, selama tahun 2007 secara umum permintaan masyarakat terhadap pembiayaan baru perbankan mengalami peningkatan. Faktor utama yang mendorong meningkatnya permintaan adalah peningkatan kebutuhan pembiayaan dan penurunan suku bunga kredit. Namun demikian, pembiayaan yang diberikan perbankan nasional masih di bawah target yang telah ditetapkan. Hal tersebut terjadi karena kondisi perekonomian yang belum membaik serta tingginya risiko usaha nasabah, sehingga bank masih menahan diri untuk menyalurkan pembiayaan ke sektor ril.
Sektor-sektor usaha yang masih dihindari oleh perbankan dalam menyalurkan pembiayaan adalah:
- industri tekstil/garment karena kebijakan pemerintah dirasakan belum mendukung;
- industri pengolahan plywood dan produk dari kayu disebabkan untuk menghindari risiko illegal logging yang masih marak; - bangunan (khususnya mall) karena over supply sehingga berisiko tinggi.
Pada tahun 2008 diperkirakan pemberian kredit baru masih akan meningkat. Peningkatan tersebut terjadi karena tersedianya rasio kecukupan modal bank dan likuiditas perbankan di sisi internal bank. Sedangkan dari sisi eksternal, peningkatan terjadi karena kebijakan Bank Indonesia dalam mendorong penurunan suku bunga serta tingkat persaingan antar bank dalam menyalurkan kredit.
Prioritas utama penyaluran pembiayaan pada tahun 2008, diperkirakan sebagian besar berupa modal kerja namun pembiayaan investasi juga akan mengalami peningkatan dari periode sebelumnya.
c. Sektor Unggulan Pembiayaan
Sesuai dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini yang ditopang oleh sektor konsumsi rumah tangga dibandingkan produksi dunia usaha, maka hal ini juga tercermin pada kredit yang diberikan perbankan. Pemberian kredit baru paling besar terjadi pada pembiayaan konsumer serta sektor-sektor ekonomi yang mendukung konsumsi, yakni sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor jasa dunia usaha.
Sebagian besar isi dari pembiayaan kepada sektor jasa dunia usaha merupakan kredit konsumsi yang diteruskan kepada masyarakat melalui multi finance, koperasi simpan pinjam, dan lembaga-lembaga pembiayaan pemilikan rumah, kendaraan bermotor, dan barang konsumsi lainnya. Pertumbuhan pembiayaan konsumsi, selama 5 tahun terakhir, sangat signifikan. Pada akhir tahun 2002, baru berjumlah Rp80 trilyun atau 21,5% dari total kredit perbankan. Pada akhir September 2007 telah berjumlah Rp266 trilyun atau meningkat lebih tiga kali lipat dalam jangka waktu tidak sampai lima tahun. Komposisi pembiayaan konsumsi terbesar ada pada segmen konsumsi lainnya (bukan kredit pemilikan rumah, ruko ataupun apartemen) yang mencapai 70% lebih dari total kredit konsumsi nasional.
Pada tahun 2002, pembiayaan konsumer dianggap sebagai primadona karena memiliki NPL segmen relatif hanya 2,63% dengan nilai absolut sebesar Rp 2,1 trilyun. Namun per triwulan III-2007, NPL absolut segmen pembiayaan konsumer telah ikut berkembang lebih dari empat kali lipat, yakni mencapai Rp 8,8 trilyun. NPL relatif pembiayaan consumer, saat ini, mencapai 3,3%. Dengan demikian, meskipun NPL pembiayaan konsumer masih di bawah 5%, namun perlu diwaspadai lebih lanjut agar tidak menjadi permasalahan besar di kemudian hari.
Dari kondisi di atas, seharusnya perbankan syariah tidak mengikuti langkah perbankan konvensional yang mengucurkan pembiayaan dengan porsi besar terhadap pembiayaan konsumsi. Apalagi tujuan semula didirikannya perbankan syariah adalah untuk mendorong pertumbuhan sektor produktif di segmen mikro, kecil, dan menengah. Namun apa daya, masih banyak hal yang belum bisa dilakukan oleh pelaku bank syariah untuk mencapai sebuah idealisme akibat berbagai faktor yang melatarbelakanginya.
Panin Bank Syariah hadir untuk melayani dan memenuhi kebutuhan
transaksi syariah seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Perbankan syariah
Indonesia adalah perbankan yang modern, terbuka bagi semua segmen masyarakat
dan melayani seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali, baik
muslim maupun non muslim.
Perbankan Syariah dengan logo iB (baca ai-Bi) adalah ikon atau
singkatan dari Islamic Banking (di Indonesia dikenal dengan Perbankan Syariah)
dengan menawarkan produk serta jasa bank yang lebih beragam dengan skema
keuangan yang lebih bervariasi.
Produk titipan maupun investasi Panin Bank Syariah dijamin
sesuai dengan Undang-Undang No.24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) hingga nilai maksimal Rp.2 miliar.
Berikut akan di
sampaikan secara singkat tentang Mudharabah dalam Ekonomi Islam.
Secara teknis, mudharabah
adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul
mal) menyediakan seluruh modal (100%), sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola. Keuntungan usaha bersama dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan
dalam kontrak. Sedangkan bila mendapat kerugian akan ditanggung oleh pemilik
modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Namun bila dia
ikut punya andil dalam kerugian itu, maka dia wajib menanggungnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar